Senin, 26 Januari 2009

Tidak kah Mereka Malu

Mereka yang Kecipratan Rezeki saat Imlek

Hari itu, Senin 26 Januari, hari raya Imlek yang juga ditetapkan sebagai hari libur nasional zaman pemerintahan Gusdur. Pegawai negeri sipil, pegawai bank, karyawan perusahaan-perusahaan swasta non keturunan Tionghoa setidaknya merasakan libur di hari tahun baru Cina.

Bagi saya, hari itu tetaplah sama dengan hari-hari biasa, aktivitas saya tetap seperti kemarin-kemarin. Bedanya, suasana kota yang agak tenang, kemacetan tak tampak. Pengemis pun tidak saya temukan di tempat-tempat yang biasanya banyak. Hari Imlek setidaknya memaksa saya bangun pagi. Bukan untuk beribadat, karena saya bukan keturunan Tionghoa, saya asli Bugis. Tapi menjalankan tugas. Kata teman-teman, tugas negara. Peliputan.

Imlek tahun ini, merupakan yang pertama kalinya saya ikuti. Bayangan peribadatan mereka sedikit terbenak dipikiran. Dalam pikiran saya, waktu peribadatan yang dilakukan hampir sama dengan Muslim saat melaksanakan lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha atau umat kristiani saat merayakan natal. Bergegas meninggalkan rumah sejak pukul tujuh pagi, takutnya ketinggalan. Yang ada, pagi hingga sore mereka dapat melakukan peribadatan. Berjamaah yang ada di pikiran saya meleset. Cerita-cerita tentang setiap kali Imlek tampak jelas di mata saya. Puluhan orang dengan busana yang tak terlalu istimewa melakukan ritualnya.

Bagi saya yang Muslim, penyembahan macam itu mungkin yang dikatakan ritual orang-orang syirik. Wallahu Wa'allam Bissalam. Hati nurani saya sebenarnya tak menginginkan menginformasikan hal-hal kesyirikan secara meluas. Namun tugas tetaplah tugas. Dalil ataupun hadis tentang penyebaran itu, selama ini belum saya ketahui. Setidaknya jika apa yang saya lakukan adalah hal yang salah, saya belum bisa dikatakan berdosa.

Di luar dari hal di atas, ada hal yang lebih mengiriskan dipandangan saya. Mungkin hanya saya ataukah mungkin ada juga diantara kalian. Ketika mereka orang-orang pribumi yang mayoritas Islam dengan bahagianya menyambut tahun baru Cina. Setidaknya hari itu, menjadi ladang ampao baginya. Saling sikutpun kadang terjadi, hanya untuk seribu rupiah. Yah... mereka memang setiap harinya melakukan hal demikian. Apa mau dikata, namanya profesi. Tapi, tidak kah mereka malu? Tidak ada malu ketika perut berbicara, kata Daeng Kebo, perempuan dengan kondisi fisik kurang normal. Jari tangan dan kakinya kecil dibanding orang-orang kebanyakan.

Imlek 2560. Setidaknya sama dengan sebelumnya, imlek adalah angpao alias amplop berisi uang. Ritual digelar, berharap sesuatu yang lebih di berbagai sudut kehidupan bisa diraih di tahun ini. Imlek dirayakan di tempat-tempat khusus, seperti kelenteng dan vihara.

Kawasan pecinaan khususnya di Jalan Sulawesi menjadi pusat perayaan imlek. Semua warga dari berbagai latar belakang berbaur di tempat ini. Masyarakat pribumi yang kesehariannya sebagai pengemis datang ke kelenteng dan vihara. Bedanya, jika para Tionghoa ke kelenteng untuk ibadah sementara pribumi datang mengais rezeki.

Berbekal topi, kantongan, mangkok dan piring plastik, serta alat lainnya. Mereka sudah bisa meraup ratusan ribu rupiah. Imlek setidaknya menjadi ladang rezeki tersendiri bagi pengemis. Kelenteng Kwan Kong di Jalan Sulawesi menjadi tempat yang ramai oleh pengemis. Kelenteng lainnya, seperti Xian Ma dan Maco juga terdapat pengemis namun tak seramai di Kwan Kong.

Posisi setidaknya berpengaruh terhadap penghasilan pengemis. Terbukti mereka yang duduk dekat pintu kelenteng lebih sering menerima sumbangan dari jemaah. Pengemis ini berjejer di pintu masuk kelenteng ibarat penjemput tamu. Bedanya mereka mengulurkan tangan meminta belas kasisan. Tak jelas berapa baris, pengemis menumpuk di sisi kiri dan kanan jalan menuju pintu masuk klenteng.

"Gantianki duduk di situ," teriak seorang perempuan setengah baya yang juga ikut mengemis dan duduk di bagian belakang. Teriakannya jelas terdengar, membuat mata tak sengaja memandangnya. Pecahan seribu rupiah menjadi pecahan yang paling sering mereka terima. Namun tak jarang pecahan uang dengan nominal lebih besar ikut diraih. Aksi kejar-kejaran pun sering terjadi antara pengemis yang mengais angpao dan yang memberi angpao. Dihalau petugas keamanan yang berjaga, digertak, hingga saling teriak. Teriakan "Nci, belumpi saya kodong," keluar dari mulut mereka yang tak kebagian saat para keturunan Tionghoa ini keluar dari kelenteng. Laki-lakipun dipanggilnya "Nci".

Tak kebagian tempat di bagian depan memaksa Daeng Kebo harus berdiri mengamati pengunjung kelenteng yang akan keluar. Menjulurkan tangannya yang menggenggam topi dilakukan setiap kali ada pengunjung kelenteng yang keluar. Tak hanya mereka yang memilki kondisi fisik yang kurang menguntungkan. Beberapa orang dengan bentuk tubuh sempurna, ikut berbaris mengais rezeki. Tidak kah mereka malu?

Puluhan anak-anak pun memanfaatkan momen imlek meminta angpao. Bocah kecil, kulitnya hitam, tubuhnya lusuh dengan rambut tak disisir lalu lalang di depan saya. Salah seorang dari mereka bernama Yudi. Anak yang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, mengaku tinggal di sekitar Jalan Tentara Pelajar, sengaja datang untuk meminta angpao ke jemaah di Kelenteng Kwan Kong. Rasa malu meminta dengan cara mengemis mungkin belum terasa bagi Yudi.

Sekira satu jam saya berdiri di Kelenteng Kwan Kong menyaksikan mereka salin meneriaki, saling sikut, serta jemaah kelenteng yang berdatangan silih berganti. Tidak kurang 150 meter dari Kelenteng Kwan Kong, puluhan orang kembali berkumpul mengulurkan tangan ke setiap orang yang keluar dari sebuah gedung. Kelenteng Xian Ma yang juga dimanfaatkan sebagai Vihara Istana Naga Sakti, orang yang mengharap angpao di tempat ini kembali saya jumpai. Hal ini setidaknya menjadi penggambaran tiap kelenteng di kota ini.

Di Kelenteng Maco, jumlah pengemis yang ada di tempat ini lebih sedikit dibanding dua kelenteng sebelumnya. Tempat mereka duduk sedikit kurang strategis. Klenteng yang memiliki tempat parkir ini mengakibatkan kendaraan pengunjung langsung masuk ke area kelenteng. Akibatnya para pengemis yang menunggu di gerbang keluar, sangat jarang kecipratan rezeki. Di kelenteng ini mereka tampak lebih santai. Jumlahnya yang sedikit mungkin mempengaruhi kondisi di kelenteng ini.

Cara para keturunan Tionghoa ini memberikan uang ke para pengemis inipun beragam. Setidaknya hal itu tampak dari gerak raut muka mereka. Ada yang memberi sambil senyum, ada juga yang memberi sambil berlalu. Jelasnya jumlah lembaran uang ditangan mereka tak bisa memenuhi semua permintaan para pengemis yang ada. Saat tak kebagian, saat itulah aksi kejar sang pemilik uang dilakukan. Tidak kah mereka malu? (*)

Tidak ada komentar:

WELCOME

Selamat datang di blog pemuda desa