Senin, 29 Maret 2010

Raja Bone Melegenda di Butta Toa

*Diterbitkan di Harian Fajar

SALAH satu legenda yang dikenang di Bantaeng adalah Latenri Ruwa, raja Bone yang memilih tinggal di Bantaeng setelah merasa terkucilkan di tanah kelahirannya. Namanya bahkan dipatenkan di salah satu pekuburan raja-raja Bantaeng.

Sebuah papan nama berdiri di kompleks pemakaman di Keluarahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Pekuburan ini berbeda dengan kompleks pemakaman lainnya di daerah yang berada 130 kilometer dari Kota Makassar. Uniknya di daerah ini kuburan bukan lagi menjadi hal horor atau mistis di kalangan anak-anak. Dibeberapa sudut kota kuburan atau pemkakamn bahkan menjadi pemandangan tersendiri. Tak kala uniknya saat penulis mendapatkan satu rumah hunian yang terdapat di belakang pekuburan yang jalan utama menuju rumah ini melewati tengah kuburan.

Kembali ke pemakaman tadi, di papan namanya jelas tertulis perbedaan kompleks pemakaman tersebut dengan kuburan lain kebanyakan.

"Taman Purbakala Kompleks Makam Latenri Ruwa dan Makam Raja-raja Bantaeng" demikian tertulis pada papan nama tersebut. Kompleks makam ini menjadi tempat peristirahatan kebanyakan raja-raja Bantaeng. Uniknya nama Latenri Ruwa, sang raja dari Kerajaan Bone seakan menjadi tokoh sentral di pekuburan tersebut. Pada hal bukan hanya Latenri Ruwa yang dimakamkan di tempat tersebut, bukan juga yang pertama di makamkan di tempat tersebut.

"Lalu kok bisa yah... nama Latenri Ruwa dijadikan nama untuk kompleks pekuburan itu," celutut penulis. Sejarawan di daerah itu, Muhammad Nasrun Nastura, yang didatangi penulis di kediamannya, membeberkan keberadaan Latenri Ruwa di kabupaten yang dikenal dengan julukan Butta Toa (Kota Tua). Menurutnya Latenri Ruwa adalah raja Bone yang ke 11 yang memilih tinggal di Bantaeng setelah diusir dari kerajaannya karena memeluk agama Islam. Sekadar diketahui Bone merupakan kerajaan yang cukup besar di zamannya di Sulsel berdampingan dengan Kerajaan Gowa.

Latenri Ruwa dikenal sebagai salah satu murid terbaik Dato ri Bandang. Dia kata Nasrun adalah raja Bone pertama yang menerima ajakan Raja Gowa ke 14, Imangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, untuk mempelajari Islam.

Namun keputusan Latenri Ruwa mempelajari dan memeluk Islam ternyata tidak mendapat persetujuan dari anggota adat "Arung Puti" kerajaan Bone. Atas keputusan belajar dan memeluk Islam itulah menurut Nasrun yang mengakibatkan Latenri Ruwa ditolak di kerajaannya saat kembali.

"Saat ditolak itulah, Latenri Ruwa memilih tinggal di Bantaeng dan mengajarkan Islam di tempat ini," ujarnya. Latenri Ruwa akhirnya memutuskan untuk tinggal di Bantaeng sambil menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di daerah yang pernah disinggahi laskar Majapahit dibawa pimpinan Patih Gaja Madah itu. Latenri Ruwa akhirnya menjadi salah satu dari empat legenda penyebar islam di Bantaeng.

Kepemimpinan Latenri Ruwa tidak berakhir setelah meninggalkan kerajaan Bone. Bermaksud tinggal di Bantaeng, Latenri Ruwa akhirnya kembali diangkat menjadi raja di Bantaeng dengan gelar kebangsawanan Bantaeng, Massangkirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa Rijalanjang.

Latenri Ruwa dalam sejarah kerajaan Bantaeng dikenal sebagai raja ke 14 Bantaeng, yang memerintah sejak tahun 1590 hingga 1620. Latenri Ruwa kini menjadi salah satu legenda yang dikenal di Bantaeng. Tidak heran jika namanya menjadi maskot di pekubaran para bangsawan tersebut.

Saat penulis mengunjungi kompleks makam itu, sayangnya penjaga makan tersebut tidak berada ditempat. Penulispun tak dapat menemukan makam Latenri Ruwa. Rata-rata makam dikompleks tersebut memiliki arsitektur zaman dulu, sehingga penulis sangat kesulitan menemukan makam yang dimaksud. Ada dua gerbang untuk masuk ke kuburan ini. Hari itu, hanya gerbang yang ada pos jaganya yang terbuka. Tak ada seorangpun di pos penjagaan tersebut, walaupun pintunya terbuka lebar.

Latenri Ruwa hingga saat ini kata Nasrun masih dikenal dan dikenang sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di Bantaeng bersama Syeh Abdul Gani, yang namanya diabadikan menjadi nama masjid terbesar di Bantaeng. Penulis yang coba menelusuri jejak keluarga atau keturunan Latenri Ruwa tak berhasil menemukannya. Dia diperkirakan tidak memiliki keturunan Bantaeng. Pasalanya pasca pemerintahannya bukan dari garis keturunan Latenri Ruwa yang memegang pucuk pimpinan kerajaan melainkan orang Bantaeng asli.

Stroberi di Kampung Wisata

*Diterbitkan di Harian Fajar

DINGIN adalah kata yang pertama kali keluar dari mulut teman yang menemani saya ke daerah yang harus ditempuh sekita empat jam perjalanan dari Makassar. Jaraknya sekitar 155 kilometer dari Kota Makassar. Letaknya di salah satu kabupaten kawasan selatan Sulawesi Selatan. Nama daerah itu Kabupaten Bantaeng.

Medan yang sulit akan ditemui untuk sampai di kawasan ini. Jalur mendaki membuat waktu yang harus di tempuh menjadi agak lama. Sebuah kampung bernama Kampung Muntea, Dusun Cidondong Paring-paring (Cipar) Desa Bontolojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Kampung ini ditetapkan sebagai kampung pariwisata oleh pemerintah setempat karena potensi yang dimilikinya.

Suasana di daerah ini hampir mirip dengan salah satu daerah di Kabupaten Gowa, Malino. Kawasan wisata di daerah itu yang banyak dikunjungi untuk bersantai. Malino diketahui sebagai daerah dingin di kawasan selatan Sulsel. Namun sebagian orang yang pernah berkunjung ke Muntea mengatakan daerah itu lebih dingin dari Malino.

Untuk sampai di perkampungan wisata tersebut, penulis harus melewati jalan berliku dan mendaki. Tapi setidaknya hal itu menjadi pemandangan sekaligus rintangan tersendiri untuk sampai di daerah ini.

Daerah Muntea lebih dikenal dengan tanaman yang ada di daerah itu ketimbang suhunya yang dingin. Stroberi menjadi salah satu tanaman khas di kawasan itu. Bahkan stroberi ditempat ini bisa dikatakan salah satunya budidaya di kawasan selatan Sulsel yang berhasil dikembangkan. Saya sempat singgah di kediaman salah seorang warga yang mengembangkan apel di Kampung Lannying Satu, Desa Bonto Lojong, atau sekitar 30 menit sebelum sampai ke Muntea. Namanya petani itu, H Rahim, di depan rumah panggung miliknya, dia menunjukkan pohon apel yang berbuah. Bentuknya memang kecil, setidaknya jauh bila dibandingkan dengan tanaman apel di Batu Malang. Namun menurutnya dia bersama petani lainnya memang masih dalam tahap penyesuaian.

Potensi-potensi inilah yang membuat Desa Bontolojong ditetapkan sebagai perkampungan wisata. Jarak dari Lannying Satu menuju Muntea masih jauh, sekitar 15 kilometer. Dari lokasi tadi ke daerah Muntea pemandangan pohon pinus akan di jumpai di sepanjang jalan.

Jalan beraspal juga tidak sampai diwilayah itu. saya masih harus melalui jalan berbatu sekitar 200 meter untuk sampai di perkebunan stroberi yang dimaksud. Sebuah kebun stroberi dipagari dengan bambu tampak di samping rumah panggung. Di pintu masuk kebun, sebuah papan kecil berwarna putih bertuliskan angka-angka nominal rupiah diikat di pagar.

Nominal rupiah tersebut adalah harga yang harus ditebus bila akan masuk di kebun stroberi itu, termasuk bila akan memetik dan mengambil buah. Perkilogramnya tertulis seharga Rp 40 ribu, Rp 1000 perbiji, Rp 5 ribu untuk bibit. Bahkan untuk buka pintu pagar saja, pengunjung harus mengocek kantong, Rp 5 ribu perorang.

Di dalam kebun seorang pria menggunakan baju kaos berwarna kuning lagi sibuk menyiram stroberi tersebut. Namanya Ansar, dia dikenal sebagai petani yang mengembangkan stroberi pertama kali di desa ini. "Awalnya cuma coba-coba, karena saya yakin di daerah ini bisa tumbuh stroberi maka saya kembangkan terus dan hasilnya seperti ini," ujarnya menjelaskan awal mulanya dia menanam stroberi di kebun samping rumahnya.

Tak banyak yang percaya usahanya akan berhasil, tapi berkat dukungan dari pemerintah daerah setempat, kebun stroberinya saat ini menjadi salah satu jualan daerah yang di kenal dengan julukan Butta Toa itu. Bahkan seorang investor dari luar sudah berencana membangun hotel tak jauh dari areal perkebunan stroberi itu. Lahan perkebunan stroberi memang belum seluas di Ciwidey Kabupaten Bandung, Jawa Barat, namun dengan potensi yang dimiliki pemkab setempat yakin dapat menyamapi kawasan wisata stroberi di Kabupaten Bandung.

Secara runtut Ansar menjelaskan awal mulanya dia mengambangkan stroberi hingga sekarang dan ditetapkannya Muntea sebagai perkampungan wisata. Tak jarang Ansar harus keluar Sulawesi untuk melakukan studi banding ke daerah perkebunan stroberi di Jawa Barat. "Bibitnya pertama kali saya ambil di Bandung," ujarnya.

Hingga saat ini pengunjung ke tempat ini bukan saja warga Bantaeng. Tercatat di buku tamunya, orang-orang dari kabupaten lain, termasuk Makassar pernah berkunjung ke tempat ini. Bahkan dari orang dari luar negeri pun sudah mulai berkunjung ke lokasi ini. "Kalau tidak salah dua minggu lalu, ada orang Jepang yang berkunjung ke tempat ini," terang Ansar sambil memperlihatkan nama bertuliskan Mr Shigenobu Fujioka, dari tokyo Jepang, di buku tamunya.

Selain Mr Shigenobu Fujioka, dari Jepang, seorang warga dari Belanda kata Ansar juga sudah pernah mengunjungi kebunnya. "Namanya saya lupa, tapi yang saya ingat dia sangat memuji stroberi saya," kata Ansar. Pohon stroberi yang dikembangkan Ansar saat ini sebanyak, 8000 pohon, disamping rumahnya, dan 5000 pohon di belakang rumah.

Ketinggian di tempat ini menurut Ansar, 1216 dari permukaan laut. Pemandangan kota Bantaeng dapat dilihat dari tempat ini. Bahkan wilayah kabupaten tetangga seperti Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba juga tampak. "Kalau cuaca agak bagus, kurang awan, Selayar (Salah satu kabupateb kepulauan di Sulsel) juga bisa dilihat dari sini," terangnya. Semakin sore, rasa dingin semakin terasa. Waktu pulang, masyarakat yang dilalui di jalan bahkan kebanyakan sudah lengkap dengan sarungnya untuk menahan rasa dingin. Sayapun memutuskan meninggalkan daerah itu sebelum embun membatasi pandangan saya.

WELCOME

Selamat datang di blog pemuda desa