*Diterbitkan di Harian Fajar
DINGIN adalah kata yang pertama kali keluar dari mulut teman yang menemani saya ke daerah yang harus ditempuh sekita empat jam perjalanan dari Makassar. Jaraknya sekitar 155 kilometer dari Kota Makassar. Letaknya di salah satu kabupaten kawasan selatan Sulawesi Selatan. Nama daerah itu Kabupaten Bantaeng.
Medan yang sulit akan ditemui untuk sampai di kawasan ini. Jalur mendaki membuat waktu yang harus di tempuh menjadi agak lama. Sebuah kampung bernama Kampung Muntea, Dusun Cidondong Paring-paring (Cipar) Desa Bontolojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Kampung ini ditetapkan sebagai kampung pariwisata oleh pemerintah setempat karena potensi yang dimilikinya.
Suasana di daerah ini hampir mirip dengan salah satu daerah di Kabupaten Gowa, Malino. Kawasan wisata di daerah itu yang banyak dikunjungi untuk bersantai. Malino diketahui sebagai daerah dingin di kawasan selatan Sulsel. Namun sebagian orang yang pernah berkunjung ke Muntea mengatakan daerah itu lebih dingin dari Malino.
Untuk sampai di perkampungan wisata tersebut, penulis harus melewati jalan berliku dan mendaki. Tapi setidaknya hal itu menjadi pemandangan sekaligus rintangan tersendiri untuk sampai di daerah ini.
Daerah Muntea lebih dikenal dengan tanaman yang ada di daerah itu ketimbang suhunya yang dingin. Stroberi menjadi salah satu tanaman khas di kawasan itu. Bahkan stroberi ditempat ini bisa dikatakan salah satunya budidaya di kawasan selatan Sulsel yang berhasil dikembangkan. Saya sempat singgah di kediaman salah seorang warga yang mengembangkan apel di Kampung Lannying Satu, Desa Bonto Lojong, atau sekitar 30 menit sebelum sampai ke Muntea. Namanya petani itu, H Rahim, di depan rumah panggung miliknya, dia menunjukkan pohon apel yang berbuah. Bentuknya memang kecil, setidaknya jauh bila dibandingkan dengan tanaman apel di Batu Malang. Namun menurutnya dia bersama petani lainnya memang masih dalam tahap penyesuaian.
Potensi-potensi inilah yang membuat Desa Bontolojong ditetapkan sebagai perkampungan wisata. Jarak dari Lannying Satu menuju Muntea masih jauh, sekitar 15 kilometer. Dari lokasi tadi ke daerah Muntea pemandangan pohon pinus akan di jumpai di sepanjang jalan.
Jalan beraspal juga tidak sampai diwilayah itu. saya masih harus melalui jalan berbatu sekitar 200 meter untuk sampai di perkebunan stroberi yang dimaksud. Sebuah kebun stroberi dipagari dengan bambu tampak di samping rumah panggung. Di pintu masuk kebun, sebuah papan kecil berwarna putih bertuliskan angka-angka nominal rupiah diikat di pagar.
Nominal rupiah tersebut adalah harga yang harus ditebus bila akan masuk di kebun stroberi itu, termasuk bila akan memetik dan mengambil buah. Perkilogramnya tertulis seharga Rp 40 ribu, Rp 1000 perbiji, Rp 5 ribu untuk bibit. Bahkan untuk buka pintu pagar saja, pengunjung harus mengocek kantong, Rp 5 ribu perorang.
Di dalam kebun seorang pria menggunakan baju kaos berwarna kuning lagi sibuk menyiram stroberi tersebut. Namanya Ansar, dia dikenal sebagai petani yang mengembangkan stroberi pertama kali di desa ini. "Awalnya cuma coba-coba, karena saya yakin di daerah ini bisa tumbuh stroberi maka saya kembangkan terus dan hasilnya seperti ini," ujarnya menjelaskan awal mulanya dia menanam stroberi di kebun samping rumahnya.
Tak banyak yang percaya usahanya akan berhasil, tapi berkat dukungan dari pemerintah daerah setempat, kebun stroberinya saat ini menjadi salah satu jualan daerah yang di kenal dengan julukan Butta Toa itu. Bahkan seorang investor dari luar sudah berencana membangun hotel tak jauh dari areal perkebunan stroberi itu. Lahan perkebunan stroberi memang belum seluas di Ciwidey Kabupaten Bandung, Jawa Barat, namun dengan potensi yang dimiliki pemkab setempat yakin dapat menyamapi kawasan wisata stroberi di Kabupaten Bandung.
Secara runtut Ansar menjelaskan awal mulanya dia mengambangkan stroberi hingga sekarang dan ditetapkannya Muntea sebagai perkampungan wisata. Tak jarang Ansar harus keluar Sulawesi untuk melakukan studi banding ke daerah perkebunan stroberi di Jawa Barat. "Bibitnya pertama kali saya ambil di Bandung," ujarnya.
Hingga saat ini pengunjung ke tempat ini bukan saja warga Bantaeng. Tercatat di buku tamunya, orang-orang dari kabupaten lain, termasuk Makassar pernah berkunjung ke tempat ini. Bahkan dari orang dari luar negeri pun sudah mulai berkunjung ke lokasi ini. "Kalau tidak salah dua minggu lalu, ada orang Jepang yang berkunjung ke tempat ini," terang Ansar sambil memperlihatkan nama bertuliskan Mr Shigenobu Fujioka, dari tokyo Jepang, di buku tamunya.
Selain Mr Shigenobu Fujioka, dari Jepang, seorang warga dari Belanda kata Ansar juga sudah pernah mengunjungi kebunnya. "Namanya saya lupa, tapi yang saya ingat dia sangat memuji stroberi saya," kata Ansar. Pohon stroberi yang dikembangkan Ansar saat ini sebanyak, 8000 pohon, disamping rumahnya, dan 5000 pohon di belakang rumah.
Ketinggian di tempat ini menurut Ansar, 1216 dari permukaan laut. Pemandangan kota Bantaeng dapat dilihat dari tempat ini. Bahkan wilayah kabupaten tetangga seperti Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba juga tampak. "Kalau cuaca agak bagus, kurang awan, Selayar (Salah satu kabupateb kepulauan di Sulsel) juga bisa dilihat dari sini," terangnya. Semakin sore, rasa dingin semakin terasa. Waktu pulang, masyarakat yang dilalui di jalan bahkan kebanyakan sudah lengkap dengan sarungnya untuk menahan rasa dingin. Sayapun memutuskan meninggalkan daerah itu sebelum embun membatasi pandangan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar