(Terbit di Harian Fajar Makassar 9-10 Oktober 2008)
*Dokter ke-39 di Sulawesi
BAGAIMANA rasanya membedah pasien di usia 80 tahun? Sebelum pisau tertinggal di perut pasien, Santosa memilih mundur dari dunia medis. Lima belas hari sebelum puluhan orang muda bertemu dan mendeklarasikan Sumpah Pemuda, di sebuah rumah di Yogyakarta, lahir seorang pria। Kelak dia bernama Adam Imam Santosa। Dia lahir 13 Oktober 1928. Artinya, empat hari lagi pria itu berulang tahun ke-80. Rabu kemarin, Santosa, dokter yang spesialis tumor menyatakan mundur dari dunia medis. Selama ini, dia bertugas di Rumah Sakit Polri Bhayangkara yang terletak di Jalan Mappaouddang, Makassar. Rambut Santosa memang sudah berubah warna. Sudah beruban. Badannya yang sedikit gemuk juga mulai membungkuk. Langkah kakinya melambat. Namun senyumnya tetap mengambang. Ditemui di rumah sakit tempatnya selama ini mengabdi, Santosa mendekat ke saya sambil mengayunkan tangannya. Sejenak, saya tak percaya jika di hadapan saya adalah dokter Adam Imam Santosa SpB.ONK. Dari tempat itu, berbagai cerita tentang Santosa mulai mengalir. Pendidikan kedokteran di Universitas Airlangga Surabaya digeluti Santosa selama delapan tahun. Cukup singkat di masa itu. Tahun 1958, Santosa resmi berstatus dokter. Setahun kemudian, Santosa yang sudah membina sebuah keluarga ini datang ke Makassar. Istrinya bernama Esther Santosa tentu saja diboyong ke Kota Daeng. Padahal ketika itu, Esther sementara hamil delapan bulan. Saat kapal yang membawa Santosa berlabuh di Pelabuhan soekarno-Hatta, jumlah dokter di Sulawesi tak lebih dari 38 orang. Jadilah dia dokter ke-39 yang berada di pulau ini. Majene menjadi lokasi dinas pertama Santosa. "Butuh waktu 18 jam untuk sampai di daerah tujuan (Majene)," kenang Santosa.
*Langsung Berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi
"SAYA sudah tua, suka lupa. Jangan sampai pisau saya lupa dalam perut pasien saya."
Laporan SuhermanMakassar
USAI sudah pengabdian Adam Imam Santosa sebagai dokter ahli bedah tumor. Di usia 80 tahun kurang lima hari, Santosa memutuskan mundur dari dunia medis. Setengah abad atau 50 tahun hidupnya diwakafkan untuk merawat orang sakit. Tak terhitung lagi jumlah manusia yang selamat dari maut berkat tangan dingin Santosa. Di awal pengabdiannya, Santosa pernah menjadi satu-satunya dokter yang melayani masyarakat Mandar. Ketika itu, dia bekerja sebagai dokter yang langsung menangani puluhan, ratusan, hingga ribuan orang sakit sekaligus sebagai Kepala Dinas Kesehatan Mandar. Setelah tiga tahun di Mandar, tepat 1 Juli 1962, Santosa ditarik ke Makassar. Saat itu statusnya sebagai pegawai negeri sipil dari Departemen Kesehatan dialihkan ke Depertemen Pertahanan dan Keamanan di kepolisian. Dia pun mendapat pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Tahun itu juga , Sekolah Polisi Negara (SPN) yang semula terletak di Jalan Mappaouddang direlokasi ke Batua. Bekas SPN Mappaouddang dialih fungsi menjadi rumah sakit. Sekarang namanya Rumah Sakit (Polri) Bhayangkara. Di sinilah Santosa berkarier dan mengabdi. Di awal beroperasinya, rumah sakit ini hanya diperkuat dokter. Mereka adalah Abadi, Arifin, dan Santosa sendiri. Santosa pensiun dari dinas kepolisian tahun 1985. Namun bukan berarti pekerjaannya sebagai dokter juga berakhir. Dia tetap mengabdi sebagai tenaga medis. Sebagai ahli bedah tumor, tak jarang Santosa menelan kenyataan pasien yang tidak bisa tertolong jiwanya usai menjalani pembedahan. "Yang mengatur nyawa seseorang kan tuhan, kita hanya bisa berusaha menolong," kata Santosa, Rabu, 8 Oktober di RS Polri Bhayangkara. Ketika saya menemui Santosa, pria itu baru saja resmi pamit dari dunia kedokteran. Dia sadar, usianya makin uzur. "Saya sudah tua, suka lupa, jangan sampai pisau saya lupa dalam perut pasien saya," ujar Santosa sambil tersenyum menatap saya. Akhirnya, terima kasih, Pak Dokter! Selamat menikmati sisi lain dari dunia ini.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar