Senin, 17 November 2008

Pasar Senggol, Dulu dan Sekarang

Berawal dari Aktivitas Nelayan di Losari

MALAM. Waktu itulah aktivitas di tempat ini. Pertemuan antara penjual dan pembeli. Transaksi di malam hari. Pasar Senggol nama tempat itu.
MENCARI jejak Pasar Sengol tidaklah sulit. Sore itu, Jumat, 24 Oktober, saya mencoba bertanya dari satu orang ke orang yang lain. Akhirnya mata tertuju ke sesosok pria yang sedang duduk di atas motor. Kulit keriput. Menggunakan tas samping, topi di kepalanya. Jari telunjuknya mengarah ke seorang laki-laki yang sedang sibuk merapikan jualannya. "Ada apa, Dek," ucap laki-laki yang ditunjuk orangtua tadi. Namun yang ditunjuk juga ternyata tak tahu asal usul pasar ini. "Coba tanyaki penjual buku yang di sana," kata laki-laki itu, sambil mengarahkan telunjuknya ke seorang laki-laki. Penjual buku yang ditunjuk bernama Toto. Namun setali tiga uang, Toto juga tak tahu sejarah pasar ini. Dia pun menunjuk seorang laki-laki penjual jamu bernama H Huzairin. Titik terang sejarah pasar senggol mulai terkuak di orang ini. "Pasar senggol ada sini sejak tahun 1981," kata dia dengan raut muka mengingat sesuatu. Namun hanya sepenggal informasi itu yang bisa dilontarkan Huzairin. Selebihnya; "Ke Haji Nur ki saja," ujar Huzairin sambil memberikan alamat dan nomor telepon seluler Haji Nur.
*** DI sebuah rumah di Jalan Balam Dua, kompleks Patompo, dua mobil tampak berjejer di bagian depan। Seorang laki-laki tua dengan sebagian rambut memutih। "Ini mi Haji Nur," ujar seorang pria didekat laki-laki tua itu. Tak salah, Haji Nur ternyata memang "perpustaan" tentang Pasar Senggol. Dari mulut laki-laki bernama lengkap Haji Muhammad Nur Muslim ini, sejarah panjang Pasar Senggol mencuat. Adalah berawal dari aktivitas nelayan. Awalnya, kata Nur, Pasar Senggol pertama kali berada di pinggir Pantai Losari. Tepatnya di Memanjang. "Kalau sekarang lokasi itu menjadi Makassar Golden Hotel. Saat itu, saya masih SMP tapi sudah dipercaya mengatur di situ," kata H Nur, Sabtu, 25 Oktober. Nelayan yang dari melaut, lanjut dia, menjual langsung hasil tangkapannya di Losari. Saat itulah, karena ramainya orang yang biasa belanja ikan, banyak penjual barang lain ikut berjualan. Saat itu tahun 1962. Sedari lokasi lama, aktivitas jual beli memang sudah digelar malam hari. Dua tahun menempati pinggir Losari, para penjual dipindahkan ke tempat lain. Ada dua tempat yang ditunjuk. Jalan Cokroaminoto dan Jalan Hati Mulia. Pedagang pun terpecah. Ada yang ke Jalan Cokroaminoto dan ada ke Jalan Hati Mulia. "Yang di (jalan) Hati Mulia inilah yang sekarang ada di (Jalan) Hati Murni," ucap H Nur. Tak lama, penjual yang di Jalan Hati Mulia direlokasi lagi ke belakang Stadion Mattoanging. Waktu itu tahun 1970. Namun tak lama mereka dipindahkan lagi ke Jalan Merpati. Lalu di tahun 1976 kembali ke Stadion Mattoanging. Bukan hanya di belakang stadion yang ditempati tapi juga di depan stadion. Tahun 1980 para pedagang di stadion kembali diarahkan untuk pindah tempat. Kali ini mereka dipindahkan kembali ke Losari. Saking banyaknya penjual yang beraktivitas di stadion. Tampat yang disediakan di Losari tidak mewadahi semua penjual. "Akhirnya ada juga yang masih bertahan di stadion," kata H Nur. "Melihat kondisi yang memprihatinkan bagi penjual, Saya sendiri menghadap ke Walikota (Makassar) Saat itu," ujar Nur. Solusi yang diberikan Walikota yang saat itu dijabat Abustan, adalah menunjuk Jalan Hati Murni. Jalan yang berada di seputaran Jalan Cendrawasih. "Mulai tahun 1981 lokasi itu digunakan sampai sekarang," kata H Nur. "Alasan saya ke Pak Wali (Abustan), Pasar Sambung Jawa yang beroperasi pada siang hari saat itu, hampir tidak ada pengunjung," kenang Nur. Pasar Sambung Jawa berada di sebelah sungai di Jalan Hati Murni, menghadap ke Jalan Cendrawasih. Kini Pasar Senggol dikenal bukan hanya masyarakat Makassar sebagai pasar tradisional, yang satu-satunya beroperasi pada malam hari. Orang yang tidak sempat berbelanja di siang hari dan baru pulang dari aktivitas kantornya, bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari di tempat ini. Pasar Senggol saat ini dikelola oleh sebuah lembaga. Yaitu Yayasan Keluarga Pengusaha Lemah (Yakpema). Diketuai oleh Nur sendiri. Nur dipercaya sebagai ketua di yayasan yang mengelolah Pasar Senggol ini sejak masih di Stadion Mattoanging. Sementara nama Pasar Senggol telah digunakan sejak masih berada di Losari. Masih kumpulan nelayan yang menggunakan tempat itu untuk berjualan. Nama itu kata Nur muncul dengan sendirinya. "Dulu, laki-laki dengan perempuan yang umur-umur muda sengaja memang bersenggolan, mungkin dari situ sehingga lahir nama Pasar Senggol," cerita Nur sambil tersenyum.

*Dari CD Bajakan hingga Kue Buroncong
ANEKA warna lapak jualan seramai pengunjung dengan busana sederhana। Ragam jualan seolah menembus masa; dari tradisional hingga jualan barang-barang bajakan. SABTU malam, 25 Oktober, langit mendung tak menguangi aktivitas warga di Jalan Hati Murni. "Kiri, Pak," teriak seorang laki-laki mengarahkan kendaraan yang ingin berhenti. Jalanan ini seolah tak berbentuk jalur kendaraan lagi. Lapak-lapak jualan sesak memenuhi jalan itu. Ruas kiri dan kanan jalan memang menjadi tumpuan hidup beberapa orang. Di tempat ini dapat ditemukan berbagai kebutuhan. Tidak jelas gerbang pasar ini. Namun cenderung orang masuk dari Jalan Cendrawasih. Fasilitas parkir juga tersedia di tempat ini. Badan Jalan Hati Murni dari arah Jalan Cendrawasih, sekira lima meter disisakan sedikit ruang untuk parkir sepeda motor. Masuk dari arah Jalan Cedrawasih suara nyanyian dari soundsystem terdengar jelas. Suara itu berasal dari penjual compact disk (CD) berisi aneka lagu. Sebagian besar CD itu adalah bajakan. Lewat dari tempat parkir sesak lapak jualan sudah terlihat. Tiga baris lapak jualan berjejer menelusuri Jalan Hati Murni. Di jalur kanan agak ke belakang, ragam jualan juga tersedia. Ada penjual pakaian diselingi dengan penjual barang lain, seperti buku, sarung telepon seluler. Sekira 30 meter, lapak-lapak dipotong dengan jalur masuk ke Pasar Kembang Jawa. Jalur itu memotong kanal. Lapak jualan pakaian terlihat mendominasi jalur memanjang ini. Hanya sesekali diselingi dengan jualan lain. Lapak memanjang hanya sampai di pertemuan Jalan Hati Murni dengan jalur yang mengarah ke Jalan Hati Mulia. Sekira 100 meter dari Jalan Cendrawasih. Belok kanan, memanjang sekira lima meter. Masih terdapat lapak jualan. Lapak itu berisi penjual bakso dan makanan lain. Depannya berbaris enam becak. "Becak, Ndik," teriak salah seorang pengayuh becak. Namanya Daeng Kulle. Katanya Pasar Senggol tempat dia mencari rezeki di malam hari. Sementara berbelok ke kiri dari arah Jalan Cendrawasih. Setelah tiga lapak penjual pakaian dan satu lapak penjual kue buroncong --penganan tradisional Bugis dan Makassar. Suasana jualan sedikit berbeda. Kini yang ditemui adalah lapak-lapak penjual sayuran. Sekitar empat lapak penjual sayuran saling berhadapan. Teriakan "juku baru" terdengar. Di sini berjejer para pedagang ikan. Dari perjalan saya, bentuk Pasar Senggol hampir sama dengan bentuk huruf T. Bedanya garis atas huruf T sama panjang. Sementara Pasar Senggol jejeran penjual yang memotong Jalan Hati Murni tidak sama panjang. Barisan penjual sayuran dan ikan lebih panjang. Dibanding barisan penjual bakso dan makanan lain. Pengunjung di Sabtu malam itu agak ramai. Utamanya di bagian lapak penjual pakaian. Menurut salah seorang penjual bernama Huzairin, pasar itu akan terlihat keramaiannya pada bulan Ramadan. (*)

Tidak ada komentar:

WELCOME

Selamat datang di blog pemuda desa